Facebook Heello Y! mesengger
Ingin Cerpen anda diposting Disini ? Gratis untuk anda !

Selasa, 04 Oktober 2011

Cermin yang Terlupakan

| Selasa, 04 Oktober 2011 | 0 komentar
Pada suatu ketika, sepasang suami istri, katakanlah nama mereka Smith, mengadakan 'garage sale' untuk menjual barang-barang bekas yang tidak mereka butuhkan lagi. Suami istri ini sudah setengah baya, dan anak-anak mereka telah meninggalkan rumah untuk hidup mandiri.

Sekarang waktunya untuk membenahi rumah, dan menjual barang-barang yang tidak dibutuhkan lagi.

Saat mengumpulkan barang-barang yang akan dijual, mereka menemukan benda-benda yang sudah sedemikian lama tersimpan di gudang. Salah satu di antaranya adalah sebuah cermin yang mereka dapatkan sebagai hadiah pernikahan mereka, dua puluh tahun yang lampau.

Sejak pertama kali diperoleh, cermin itu sama sekali tidak pernah digunakan. Bingkainya yang berwarna biru aqua membuat cermin itu tampak buruk, dan tidak cocok untuk diletakkan di ruangan mana pun di rumah mereka. Namun karena tidak ingin menyakiti orang yang menghadiahkannya, cermin itu tidak mereka kembalikan. Demikianlah, cermin itu teronggok di loteng. Setelah dua puluh tahun berlalu, mereka berpikir orang yang memberikannya tentu sudah lupa dengan cermin itu. Maka mereka mengeluarkannya dari gudang, dan meletakkannya bersama dengan barang lain untuk dijual keesokan hari.

Garage sale mereka ternyata mendapat banyak peminat. Halaman rumah mereka penuh oleh orang-orang yang datang untuk melihat barang bekas yang mereka jual. Satu per satu barang bekas itu mulai terjual. Perabot rumah tangga, buku-buku, pakaian, alat berkebun, mainan anak-anak, bahkan radio tua yang sudah tidak berfungsi pun masih ada yang membeli.

Seorang lelaki menghampiri Mrs. Smith.

"Berapa harga cermin itu?" katanya sambil menunjuk cermin tak terpakai tadi. Mrs. Smith tercengang.

"Wah, saya sendiri tidak berharap akan menjual cermin itu. Apakah Anda sungguh ingin membelinya?" katanya.

"Ya, tentu saja. Kondisinya masih sangat bagus." jawab pria itu. Mrs. Smith tidak tahu berapa harga yang pantas untuk cermin jelek itu. Meskipun sangat mulus, namun baginya cermin itu tetaplah jelek dan tidak berharga.

Setelah berpikir sejenak, Mrs. Smith berkata, "Hmm ... anda bisa membeli cermin itu untuk satu dolar."

Dengan wajah berseri-seri, pria tadi mengeluarkan dompetnya, menarik selembar uang satu dolar dan memberikannya kepada Mrs. Smith.

"Terima kasih," kata Mrs. Smith, "Sekarang cermin itu jadi milik Anda. Apakah perlu dibungkus?"

"Oh, jika boleh, saya ingin memeriksanya sebelum saya bawa pulang." jawab si pembeli.

Mrs. Smith memberikan ijinnya, dan pria itu bergegas mengambil cerminnya dan meletakkannya di atas meja di depan Mrs. Smith. Dia mulai mengupas pinggiran bingkai cermin itu. Dengan satu tarikan dia melepaskan lapisan pelindungnya dan muncullah warna keemasan dari baliknya.

Bingkai cermin itu ternyata bercat emas yang sangat indah, dan warna biru aqua yang selama ini menutupinya hanyalah warna dari lapisan pelindung bingkai itu!

"Ya, tepat seperti yang saya duga! Terima kasih!" sorak pria itu dengan gembira. Mrs. Smith tidak bisa berkata-kata menyaksikan cermin indah itu dibawa pergi oleh pemilik barunya, untuk mendapatkan tempat yang lebih pantas daripada loteng rumah yang sempit dan berdebu.

(author unknown)

Sahabat.....

Kisah ini menggambarkan bagaimana kita melihat hidup kita. Terkadang kita merasa hidup kita membosankan, tidak seindah yang kita inginkan. Kita melihat hidup kita berupa rangkaian rutinitas yang harus kita jalani. Bangun pagi, pergi bekerja, pulang sore, tidur, bangun pagi, pegi bekerja, pulang sore, tidur. Itu saja yang kita jalani setiap hari.

Sama halnya dengan Mr. dan Mrs. Smith yang hanya melihat plastik pelapis dari bingkai cermin mereka, sehingga mereka merasa cermin itu jelek dan tidak cocok digantung di dinding. Padahal dibalik lapisan itu, ada warna emas yang indah.

Padahal di balik rutinitas hidup kita, ada banyak hal yang dapat memperkaya hidup kita.

Setiap saat yang kita lewati, hanya bisa kita alami satu kali seumur hidup kita. Setiap detik yang kita jalani, hanya berlaku satu kali dalam hidup kita. Setiap detik adalah pemberian baru dari Tuhan untuk kita.

Akankah kita menyia-nyiakannya dengan terpaku pada rutinitas?

Akankah kita membiarkan waktu berlalu dengan merasa hidup kita tidak seperti yang kita inginkan?

Setelah dua puluh tahun, dan setelah terlambat, barulah Mrs. Smith menyadari nilai sesungguhnya dari cermin tersebut. Inginkah kita menyadari keindahan hidup kita setelah segalanya terlambat? Tentu tidak.

Sebab itu, marilah kita mulai mengikis pandangan kita bahwa hidup hanyalah rutinitas belaka. Mari kita mulai mengelupas rutinitas tersebut dan menemukan nilai sesungguhnya dari hidup kita.

Marilah kita mulai menjelajah hidup kita, menemukan hal-hal baru, belajar lebih banyak, mengenal orang lebih baik.

Mari kita melakukan sesuatu yang baru.

Mari kita membuat perbedaan!
Baca seLengkapnya yuk - Cermin yang Terlupakan

Minggu, 25 September 2011

JALAN MENUJU KESUKSESAN

| Minggu, 25 September 2011 | 0 komentar
ZAINOTES. Pada suatu kala, seorang pria sedang berjalan di sebuah tempat untuk mencari harta karun. Sampai akhirnya, tibalah ia di sebuah jalan bercabang tiga. Kebetulan ada orang tua yang sedang berdiri di pinggir persimpangan jalan tersebut.
...
Pria itu sedang bingung karena ada tiga jalan menuju arah yang berbeda. Ia pun sulit memutuskan mau memilih jalan yang ingin ditempuh. Lalu ia bertanya pada orang tua tersebut, “Hai, pak tua. Bolehkah saya bertanya? Saya sedang dalam perjalanan mencari harta karun. Tapi di depan saya ada tiga jalan yang berbeda. Bolehkah bapak menunjukkan kepada saya jalan yang benar?”

Orang tua itu tidak menjawab. Ia hanya menunjuk jalan yang pertama.

Pria itu berterima kasih dan segera mengambil jalan yang pertama.

Beberapa saat kemudian, pria yang tadi kembali lagi. Tapi kali ini seluruh badannya kotor terkena lumpur. Ia mendekati pak tua itu dan berkata, “Hai, pak tua. Tadi saya tanya arah ke tempat harta karun dan Anda menunjuk ke jalan pertama. Tapi saya malah terjebak ke dalam kolam lumpur yang luas. Badan saya jadi kotor begini.” Ia lalu bertanya, “Sekarang di mana jalan menuju harta karun? Tolong tunjukkan pada saya!”

Orang tua itu tetap tidak bersuara. Ia kemudian menunjuk ke jalan yang ke dua.

Pria itu kemudian berterima kasih dan segera mengambil jalan yang kedua.

Beberapa saat kemudian, pria tersebut kembali lagi. Badannya bukan hanya terkena lumpur pekat, tapi juga celananya penuh dengan sobekan dan kakinya luka seperti tergores sesuatu.

Kali ini ia mendekati pria tua itu dengan ekspresi wajah yang kesal.Ia berkata dengan sedikit marah, “Hai, pak tua! Tadi saya menanyakan arah menuju tempat harta karun dan Anda menunjuk ke jalan yang kedua. Tapi, jalan itu penuh dengan semak berduri. Seluruh kaki saya jadi terluka karena tergores duri.”

Kali ini ia bertanya lagi, “Sekarang saya tanya sekali lagi, di mana jalan menuju harta karun itu? Anda sudah dua kali membohongi dan mencelakai saya. Sekali lagi berbohong, Anda akan tahu akibatnya.”

Pria tua itu tetap diam, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia sekarang menunjuk ke jalan yang ke tiga.

“Apakah Anda yakin dan tidak berbohong?” tanya pria itu.

Pria tua itu menganggukkan kepalanya dan sekali lagi menunjuk ke jalan yang ketiga.

Pria itu pun segera pergi meninggalkan pria tua tersebut. Namun beberapa saat kemudian, ia kembali lagi sambil berlari seperti ketakutan. Dengan napas tersengal, ia bertanya dengan marah, “Hai, pak tua! Apakah Anda mau membunuh saya? Di jalan sana ada banyak sekali binatang buas. Itu sama saja dengan cari mati.”

Pria tua itu akhirnya buka mulut, berkata, “Semua jalan tadi sebenarnya bisa menuju ke tempat harta karun. Hanya saja untuk menuju ke sana, Anda harus melewati jalan tersebut. Anda bisa memilih melewati kolam lumpur, semak berduri, atau binatang buas. Anda bisa pilih salah satu. Kalau benar-benar mau pergi ke tempat harta karun, Anda harus berani melewati salah satunya. Jika Anda tidak mau, silakan kembali saja.”

Begitu mendegar penjelasan dari pria tua itu, ia menundukkan kepala. Ia mundur, membatalkan perjalanannya dan kembali pulang…

Pesan kepada pembaca:

Saya yakin semua orang dengan semangat akan menjawab “Ya” saat ditanya apakah mereka ingin meraih kesuksesan. Namun sebagian besar tidak berani menjawab saat ditanya apakah mereka bersedia membayar harganya. Kenyataan yang sering terjadi adalah banyak sekali orang yang tidak bersedia menempuh jalan kesuksesan yang terlihat sangat berat. Mereka hanya ingin langsung sampai di garis finis, tapi tidak pernah mau melangkahkan kakinya untuk mencapai garis finis tersebut.

Salah satu tantangan berat yang harus Anda hadapi saat berjuang meraih kesuksesan adalah mendorong diri Anda untuk maju meskipun jalan yang sedang Anda tempuh sangat berat, berliku, dan penuh rintangan. Tantangan inilah yang seringkali membuat nyali seseorang menjadi ciut. Tantangan inilah yang akhirnya menyebabkan banyak orang tidak berani membayar harga dari sebuah kesuksesan. Mereka tidak siap untuk membayar dan lebih memilih melupakan kesuksesan yang ingin mereka raih.

Tidak peduli apa pun tujuan yang ingin Anda capai, rintangan tetap akan ada dan tidak akan hilang. Di mana ada kesuksesan, di situ ada rintangan yang menghalanginya. Hanya orang-orang sukses yang berani menghadapi rintangan demi rintangan sampai akhirnya meraih tujuan. Sebaliknya orang gagal lebih memilih untuk menyerah. Dan yang lebih menyedihkan, mereka bahkan tidak berani mencoba saat melihat betapa beratnya perjalanan yang harus dilalui. Mental mereka sudah dikalahkan jauh sebelum mereka memulai.

Rintangan akan selalu berdiri di depan kesuksesan. Anda harus berani melewatinya sebelum berhasil mendapatkan kesuksesan. Ada dua pilihan, mengeluh dan menyalahkan rintangan itu atau mendorong diri Anda untuk mengalahkan rintangan tersebut. Anda boleh menyalahkan rintangan yang kelihatannya selalu menghadang Anda. Tapi cobalah pikirkan, apakah rintangan itu akan hilang dengan cara menumpahkan kekesalan Anda?
Baca seLengkapnya yuk - JALAN MENUJU KESUKSESAN

Kamis, 15 September 2011

Dibawah semangkuk nasi putih

| Kamis, 15 September 2011 | 0 komentar
Pada sebuah senja dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda yang kelihatannya seperti seorang mahasiswa berjalan mondar mandir di depan sebuah rumah makan cepat saji di kota metropolitan, menunggu sampai tamu direstoran sudah agak sepi, dengan sifat yang segan dan malu-malu dia masuk kedalam restoran tersebut.

"Tolong sajikan saya semangkuk nasi putih."

Dengan kepala menunduk pemuda ini berkata kepada pemilik rumah makan. Sepasang suami istri muda pemilik rumah makan, memperhatikan pemuda ini hanya meminta semangkuk nasi putih dan tidak memesan lauk apapun, lalu menghidangkan semangkuk penuh nasi putih untuknya.

Ketika pemuda ini menerima nasi putih dan sedang membayar berkata dengan pelan :

"dapatkah menyiram sedikit kuah sayur diatas nasi saya."

Istri pemilik rumah berkata sambil tersenyum :

"Ambil saja apa yang engkau suka, tidak perlu bayar !"

Sebelum habis makan, pemuda ini berpikir : "kuah sayur gratis."

Lalu memesan semangkuk lagi nasi putih.

"Semangkuk tidak cukup anak muda, kali ini saya akan berikan lebih banyak lagi nasinya."
Dengan tersenyum ramah pemilik rumah makan berkata kepada pemuda ini.

"Bukan, saya akan membawa pulang, besok akan membawa ke sekolah sebagaimakan siang saya !"

Mendengar perkataan pemuda ini, pemilik rumah makan berpikir pemuda ini tentu dari keluarga miskin di luar kota, demi menuntut ilmu datang ke kota, mencari uang sendiri untuk sekolah, kesulitan dalam keuangan itu sudah pasti.

Berpikir sampai disitu pemilik rumah makan lalu menaruh sepotong daging dan sebutir telur disembunyikan dibawah nasi, kemudian membungkus nasi tersebut sepintas terlihat hanya sebungkus nasi putih saja dan memberikan kepada pemuda ini.

Melihat perbuatannya, istrinya mengetahui suaminya sedang membantu pemuda ini, hanya dia tidak mengerti, kenapa daging dan telur disembunyikan di bawah nasi ?

Suaminya kemudian membisik kepadanya :


"Jika pemuda ini melihat kita menaruh lauk di nasinya dia tentu akan merasa bahwa kita bersedekah kepadanya, harga dirinya pasti akan tersinggung lain kali dia tidak akan datang lagi, jika dia ke tempat lain hanya membeli semangkuk nasi putih, mana ada gizi untuk bersekolah."

"Engkau sungguh baik hati, sudah menolong orang masih menjaga harga dirinya."


"Jika saya tidak baik, apakah engkau akan menjadi istriku ?"

Sepasang suami istri muda ini merasa gembira dapat membantu orang lain.

"Terima kasih, saya sudah selesai makan." Pemuda ini pamit kepada mereka.

Ketika dia mengambil bungkusan nasinya, dia membalikan badan melihat dengan pandangan mata berterima kasih kepada mereka.

"Besok singgah lagi, engkau harus tetap bersemangat !"

katanya sambil melambaikan tangan, dalam perkataannya bermaksud mengundang pemuda ini besok jangan segan-segan datang lagi.

Sepasang mata pemuda ini berkaca-kaca terharu, mulai saat itu setiap sore pemuda ini singgah ke rumah makan mereka, sama seperti biasa setiap hari hanya memakan semangkuk nasi putih dan membawa pulang sebungkus untuk bekal keesokan hari.

Sudah pasti nasi yang dibawa pulang setiap hari terdapat lauk berbeda yang tersembunyi setiap hari, sampai pemuda ini tamat, selama 20 tahun pemuda ini tidak pernah muncul lagi.

Pada suatu hari, ketika suami ini sudah berumur 50 tahun lebih, pemerintah melayangkan sebuah surat bahwa rumah makan mereka harus digusur, tiba-tiba kehilangan mata pencaharian dan mengingat anak mereka yang disekolahkan di luar negeri yang perlu biaya setiap bulan membuat suami istri ini berpelukan menangis dengan panik.

Pada saat ini masuk seorang pemuda yang memakai pakaian bermerek kelihatannya seperti direktur dari kantor bonafid.

"Apa kabar?, saya adalah wakil direktur dari sebuah perusahaan, saya diperintah oleh direktur kami mengundang kalian membuka kantin di perusahaan kami, perusahaan kami telah menyediakan semuanya kalian hanya perlu membawa koki dan keahlian kalian kesana, keuntungannya akan dibagi 2 dengan perusahaan."

"Siapakah direktur diperusahaan kamu ?, mengapa begitu baik terhadap kami? saya tidak ingat mengenal seorang yang begitu mulia !" sepasang suami istri ini berkata dengan terheran.


"Kalian adalah penolong dan kawan baik direktur kami, direktur kami paling suka makan telur dan dendeng buatan kalian, hanya itu yang saya tahu, yang lain setelah kalian bertemu dengannya dapat bertanya kepadanya."

Akhirnya, pemuda yang hanya memakan semangkuk nasi putih ini muncul, setelah bersusah payah selama 20 tahun akhirnya pemuda ini dapat membangun kerajaaan bisnisnya dan sekarang menjadi seorang direktur yang sukses untuk kerajaan bisnisnya.

Dia merasa kesuksesan pada saat ini adalah berkat bantuan sepasang suami istri ini, jika mereka tidak membantunya dia tidak mungkin akan dapat menyelesaikan kuliahnya dan menjadi sesukses sekarang.

Setelah berbincang-bincang, suami istri ini pamit hendak meninggalkan kantornya. Pemuda ini berdiri dari kursi direkturnya dan dengan membungkuk dalam-dalam berkata kepada mereka :"bersemangat ya ! dikemudian hari perusahaan tergantung kepada kalian, sampai bertemu besok !"

Kebaikan hati dan balas budi selamanya dalam kehidupan manusia adalah suatu perbuatan indah dan yang paling mengharukan.

 TERHARU?, ayo mulai jangan sungkan untuk berbuat baik hari ini...
Apa yang akan terjadi besok, kita tidak pernah tahu!
Baca seLengkapnya yuk - Dibawah semangkuk nasi putih

Rabu, 14 September 2011

1 Dollar 11 Sen

| Rabu, 14 September 2011 | 0 komentar
Sally baru berumur delapan tahun ketika dia mendengar ibu dan ayahnya sedang berbicara mengenai adiknya, Georgi. Ia sedang menderita sakit yang parah dan mereka telah melakukan apapun yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan jiwanya. Hanya operasi yang sangat mahal yang sekarang bisa menyelamatkan jiwa Georgi. Tapi tidak punya biaya untuk itu.

Sally mendengar ayahnya berbisi...k, “Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkanya sekarang.”

Sally pergi ketempat tidur dan mengambil celengan dari tempat persembunyianya. Lalu dikeluarkan semua isi celengan tersebut ke lantai dan menghitung secara cermat…. tiga kali. Nilainya harus benar-benar tepat.

Dengan membawa uang tersebut, Sally menyelinap keluar dan pergi ke toko obat di sudut jalan. Ia menunggu dengan sabar sampai sang apoteker memberi perhatian… Tapi dia terlalu sibuk dengan orang lain untuk diganggu oleh seorang anak berusia delapan tahun. Sally berusaha menarik perhatian dengan menggoyang-goyangkan kakinya, tapi gagal.

Akhirnya dia mengambil uang koin dan melemparkanya ke kaca etalase. Berhasil!

“Apa yang kamu perlukan?,” Tanya sang apoteker.
“ayah saya mengatakan hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan jiwa adik saya…. jadi berapa harga keajaiban itu?”
“Kami tidak menjual keajaiban, adik kecil. Saya tidak dapat menolongmu.”
“Dengar, saya mempunyai uang untuk membelinya. Katakan saja berapa harganya.”

Seorang pria berpakaian rapi berhenti dan bertanya, “Keajaiban jenis apa yang dibutuhkan oleh adikmu?”

“Saya tidak tahu,” jawab Sally. Air mata mulai mnetes dipipinya. “Saya hanya tahu dia sakit parah dan mama mengatakan bahwa ia membutuhkan operasi. Tapi kedua orang tua saya tidak mampu mebayarnya… tapi saya juga mempunyai uang.”

“Berapa uang yang kamu punya?” tanya pria itu lagi.

“Satu dolar dan sebelas sen,” jawab Sally dengan bangga. “dan itulah seluruh uang yang saya miliki di dunia ini.”

“Wah kebetulan sekali,” kata pria itu sambil tersenyum. “Satu dolar dan sebelas sen… harga yang tepat untuk dapat menolong adikmu”. Dia mengambil uang tersebut dan kemudian memegang tangan Sally sambil berkata: “Bawalah saya kepada adikmu. Saya ingin bertemu denganya dan juga orang tuamu.”

Pria itu adalah Dr. Carlton Armstrong, seorang ahli bedah terkenal. Operasinya dilakukan tanpa biaya dan membutuhkan waktu tidak lama sebelum Georgi dapat kembali ke rumah dalam keadaan sehat.

Kedua orang tuanya sangat bahagia mendapatkan keajaiban tersebut. “Operasi itu,” bisik ibunya, “adalah seperti sebuah keajaiban. Saya tidak dapat membayangkan berapa harganya”.
Sally tersenyum. Dia tahu pasti berapa harga keajaiban tersebut….satu dolar dan sebelas sen…ditambah dengan keyakinan.
Baca seLengkapnya yuk - 1 Dollar 11 Sen

Senin, 12 September 2011

Lima Menit Saja

| Senin, 12 September 2011 | 0 komentar
Pada suatu hari seorang wanita duduk di taman di samping seorang laki-laki.

Wanita itu menunjuk seorang anak laki-laki, "itu anakku."
...
Anak itu sedang bermain di papan luncuran.

"Wah bagus sekali" kata laki-laki itu. "Itu anakku" ia menunjuk anak laki-laki yang bermain ayunan.

Setelah cukup lama laki-laki itu melihat arlojinya kemudian mengajak anaknya untuk pulang.

Namun, anaknya merengek "5 menit lagi ya Pa?"

Laki-laki itu mengangguk. Lima menit berlalu. Kemudian ia mengajak anaknya untuk pulang.

Lagi-lagi anaknya merengek "5 menit lg ya pa?"

Laki-laki itu lagi-lagi mengangguk. Wanita yang duduk di sampingnya kagum dan memuji betapa sabarnya dia sebagai seorang ayah. Laki-laki kemudian bercerita tentang anaknya yang lebih tua, terbunuh selagi bersepeda di dekat situ. Ia tak pernah meluangkan waktu untuk anaknya. Ia bernazar tidak akan mengulanginya lagi terhadap anaknya yang kedua.

"Mungkin anak saya pikir dia mendapatkan tambahan waktu bermain, tapi sayalah yang dapat tambahan waktu untuk bersamanya dan menikmati waktu bahagia dengannya.

Hidup ini bukanlah lomba. Hidup adalah membuat prioritas. Berikanlah tambahan waktu 5 menit pada orang yang kita kasihi. Pasti kita tak akan menyesal selamanya. Prioritas apa yang Anda miliki saat ini?

Dikirim Oleh Ibu Listia
Baca seLengkapnya yuk - Lima Menit Saja

Sabtu, 10 September 2011

Bunuh diri

| Sabtu, 10 September 2011 | 0 komentar
Pada suatu hari, tampak seorang pemuda berdiri termangu-mangu di tepi sebuah jembatan dengan sungai yang berair deras dibawahnya. Sesekali matanya menerawang jauh. Kemudian dia menarik napas panjang. Jelas kelihatan diwajahnya, dia sedang frustasi dan putus asa.

Si pemuda berkata pada dirinya sendiri “Semua kenikmatan duniawi telah aku cicipi. Aku pernah kaya, pernah pergi ke tempat-tempat indah diseluruh dunia. Makanan lezat dan kenikmatan yang dapat dibeli oleh orang juga telah aku rasakan.”

“Tetapi sekarang, aku sungguh tidak bahagia. Keluargaku berantakkan, anakku meninggal dunia, istriku pun pergi meninggalkan aku. Lalu untuk apa lagi aku hidup di dunia ini? Biar pun aku masih memiliki harta kekayaan, tetapi hatiku kosong dan menderita!”

Si pemuda tampak bersiap-siap bunuh diri, dengan cara menceburkan diri ke sungai. Tetapi disaat yang bersamaan, datang seorang pengemis berpakaian kumal menghampiri dia.

“Tuan yang baik, tolong beri saya sedikit uang untuk makan. Saya doakan semoga tuan selalu sehat dan berumur panjang..”

Sang pemuda segera mengeluarkan dompet dari sakunya, mengambil semua uang yang ada, sambil memberikan kepada si pengemis, dia berkata, “Ambilah semua uang ini.”

“Semua ini?” Tanya si pengemis tidak percaya.

“Ya, ambillah semua. Karena ditempat yang akan aku tuju, aku tidak memerlukannya.” Kata si pemuda sambil mengalihkan pandangannya kearah sungai di bawah jembatan.

Si pengemis rupanya merasakan sikap pemuda yang agak janggal. Kemudian setelah memegang dan memandangi uang itu sejenak, dia cepeat-cepat mengembalikan uang itu.

Pengemis itu berkata, “Tidak, tidak jadi. Aku memang seorang pengemis, tetapi aku bukan seorang pengecut dan aku tidak akan mengambil uang dari seorang pengecut. Ini, bawalah uang ini bersamamu ke sungai itu.”

Lalu, si pengemis segera pergi dari situ sambil berteriak lantang, “Selamat tinggal tuan pengecut…!”

Pemuda yang ingin bunuh diri itu terpana kaget. Perasaan puas dan bahagia sejenak yang dirasakan karena bisa memberi, lenyap seketika. Dia sangat ingin si pengemis menerima pemberiannya, apalagi diakhir hidupnya, tetapi itupun tidak bisa.

Tiba-tiba dia menyadari bahwa ternyata dengan memberi kepada orang lain justru dia merasa bahagia. Ini sungguh suatu pengetahuan baru bagi pemuda itu.

Setelah itu, dia memandang kea rah sungai sekali lagi, lalu berpaling dan berjalan pergi mengejar si pengemis. Dia ingin mengucapkan terima kasih dan memberitahu bahwa dirinya tidak akan menjadi seorang pengecut. Dia berjanji didalam hati, akan kembali berjuang, untuk mendapatkan kebahagian dengan memberi kepada orang-orang yang membutuhkan.

Sahabat,

Rasanya begitu mengenaskan, mendengar orang mengakhiri hidupnya dengan jalan pintas. Bahkan tidak jarang, gara-gara masalah sepele, orang bisa mengambil tindakan bodoh.

Setiap manusia pasti mengalami masalah-masalah dalam kehidupannya. Akan tetapi, bagaimana pun berat dan besarnya beban hidup, kita harus berani menghadapinya.

Semua itu hanya karena satu alasan, yaitu hidup adalah tanggung jawab. Daripada berani mati secara pengecut, jauh lebih bernilai berani hidup secara ksatria.

Dan ternyata, kebahagiaan tidak hanya didapat pada saat kita menerima. Kebahagiaan bisa kita dapatkan justru saat kita memberi.

(Sumber : Andrie Wongso)
Baca seLengkapnya yuk - Bunuh diri

Jumat, 09 September 2011

Tangis untuk adikku

| Jumat, 09 September 2011 | 0 komentar
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari , orangtuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Yang mencintaiku lebih dari aku mencintainya.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatan membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya.

“Siapa yang mencuri uang ayah?”Beliau bertanya. Aku terpaku terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapapun mengaku. Beliau mengatakan lagi “ Baiklah kalau begitu kalian berdua layak dipukul!”

Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adiku mencengkeram tangannya dan berkata, Ayah, aku yang melakukannya!”

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai beliau kehabisan nafas. Sesudah itu beliau duduk di ranjang dan memarahi kami.”Kamu sudah belajar mencuri dari rumah, hal memalukan apalagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang ? kamu layak dipukul, kamu pencuri tidak tahu malu.”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kamu, tubuhnya luka, tetapi ia tidak menitikan airmata setetespun. Dipertengahan malam itu, saya tiba-tiba menangis meraung-raung.. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, ”Kak, jangan menangis lagi sekarang, semuanya sudah terjadi.”

Aku masih terus membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan baru seperti kemarin. Aku tidak pernah lupa tampang adikku ketika melindungiku. Waktu itu, adiku berusia 8 tahun. Aku berusia 11 tahun.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengar dia berkata lirih ” Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik, hasil yang begitu baik”. Ibu mengusap airmatanya yang mengalier dan menghela nafas ” Apa gunanya?bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”

Saat itu juga adikku berjalan ke hadapan ayah dan berkata, ”Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, aku telah cukup membaca banyak buku”

Ayah marah besar dan berkata : ” mengapa kamu mempunyai jiwa yang begitu lemah!!!Bahkan kalau aku harus mengemis di jalanan akan aku lakukan, kamu berdua harus sekolah sampai selesai.”

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit makanan. Dia menyelinap di samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku:”Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimmu uang.”

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu adiku berusia 17 tahun dan aku 20 tahun.

Dengan uang yang ayahku pinjam dan uang dari adiku hasilkan dari mengangkut semen pada lokasi konstruksi, akhirnya aku sampai akhir tahun ketiga kuliah.

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk memberitahukan,” Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luarsana!”

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya,”Mengapa kamu tidak bilang pada temanku kamu adalah adikku?”

Dia tersenyum dan menjawab”Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu?Apa mereka tidak akan mentertawakanmu?”

Aku merasa terenyuh dan airmata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari badan adiku dan sambil tersekat aku berkata”Aku tidak peduli omongan siapapun!Kamu adalah adikku apapun juga Kamu adalah adikku bagaimanapun penampilanmu...”

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku dan terus menjelaskan, ”Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kakak harus memilikinya...”

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Menariknya ke dalam pelukanku dan menangis....Tahun itu ia berusia 20 aku 23

Pertama kali aku membawa teman-teman kuliahku ke rumahku, kaca jendela yang pecah telah diganti dan semuanya kelihatan bersih..Setelah teman-temanku pulang..aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.”Bu, ibu tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk membersihkan rumah kita...Tetapi katanya sambil tersenyum”Itu adalah pekerjaan adikmu..dia pulang lebih awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkkah kamu melihat luka ditangannya.?ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus , seratus jarum terasa menusuk hatiku.Aku mengoleskan sedikit salep pada lukanya dan membalut lukanya..”Apakah sakit?..

”Tidak kok Kak...Aku biasa biasa kena batu-batu kak..”Ditengah kalimatnya aku membalikan punggungku karena air mata mulai menggenang dimataku....Tahun itu adikku 23 tahun dan aku berusia 26 tahun.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Aku berkali-kali mengundang orangtuaku datang dan tinggal dirumahku..tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka sudah merasa dibesarkan didusun dan tidak tahu harus berbuat apa kalau seandainya keluar dari dusun. Adikku juga mengatakan ”Kak jagalah mertuamu saja, saya yang akan menjaga ibu dan ayah disini..”

Suamiku menjadi direktur pabrik..Kami menginginkan adiku kerja di pabrik, akan tetapi adiku tak pernah mau...dia pingin tetap menjaga ayah ibu.

Suatu hari adiku jatuh dari sebuah tangga untuk memperbaiki kabel, ketika dia terkena sengatan listrik dan dia masuk ke rumah sakit...Aku dan suamiku menjenguknya..dan melihat gips putih dikakinya..Aku berkata ”Mengapa kamu menolak kerja menjadi manajer pabrik di tempat kakakmu...Coba kalau kau terima, tentu kamu tidak akan mengalami seperti ini..”

Dengan tanpang serius dia menjawab”Kak, pikirkan nama baik kakak ipar kak. Ia baru saja menjadi Direktur, sedangkan saya tidak berpendidikan..nanti apa kata orang kalau saya menjadi manajer? Kasihan kakak ipar..

Mata suamiku dipenuhi airmata, dan kemudian aku berkata ” Tapi kamu kurang berpendidikan itu juga karena aku, kakakmu...

Mengapa kakak membicarakan masa lalu?” adikku menggenggam tanganku. Tahun itu ia berusia 26 tahun dan aku 29 tahun

Adikku kemudian menikahi seorang gadis pada usia 30 tahun. Dalam acara itu pembawa acara perayaan bertanya kepadanya,”Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” tanpa berpikir panjang adikku menjawab”Kakakku.’

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat lagi.

” Ketika kami sekolah SD. Saya dan kakakku sekolah SD di tempat yang cukup jauh dari tempat tinggal kami..di sebuah dusun yang berbeda..Setiap hari aku dan kakakku berjalan selama kurang lebih dua jam untuk pergi dan pulang ke sekolah..Suatu hari aku kehilangan satu sarung tanganku...Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai sebuah sarung tangan di tangannya..padahal kami berjalan sangat jauh dan cuaca sedang musim sangat dingin...Ketika kami tiba dirumah, tangan kakakku begitu gemetaran..sehingga ketika makan dia tidak bisa memegang sendoknya.......Sejak hari itu aku bersumpah..selama saya masih hidup aku akan menjaga kakakku dan...aku akan selalu baik kepadanya..

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku

Kemudian kata-kata begitu susah keluar dari bibirku”Dalam hidupku..orang yang paling berjasa padaku adalah adikku..orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku...

Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia itu..di depan kerumunan perayaan itu..air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai...
Baca seLengkapnya yuk - Tangis untuk adikku
 
© Copyright 2011. Cerpenduniaku | BLog . All rights reserved | Cerpenduniaku | BLog is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com - zoomtemplate.com